No | Isi Artikel |
---|---|
HAKIKAT ZUHUD
Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه اللهmengatakan, "Zuhud di dunia adalah benci terhadap dunia. Yaitu seorang manusia tidak mengambil bagian dunia kecuali apa yang membawa manfaat untuk akhiratnya. Dan zuhud lebih tinggi tingkatannya daripada sifat waro', karena waro' adalah meninggalkan apa yang membahayakan dari perkara dunia, sedangkan zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk negeri akhirat."1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله mengatakan, "Zuhud yang disyari'atkan adalah meninggalkan keinginan dalam perkara yang tidak bermanfaat untuk negeri akhirat. Contohnya adalah berlebihan dalam perkara mubah yang tidak membantu dalam pelaksanaan ketaatan kepada Alloh. Sebagaimana sifat waro' yang disyari'atkan adalah meninggalkan perkara yang kadangkala dapat membahayakan untuk negeri akhirat. Adapun perkara yang bermanfaat maka bersikap zuhud terhadapnya bukanlah termasuk bagian dari agama, bahkan pelakunya terkena ancaman firman Alloh عزّوجلّ yang berbunyi: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Alloh halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Maidah [5]: 87) Berlebihan dalam perkara mubah adalah lawan dari sifat zuhud yang disyari'atkan. Jika perkara mubah ini menyibukkan dari perkara yang wajib atau malah mengerjakan perkara yang haram maka dia telah berbuat maksiat."2 Al-Imam Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdisi رحمه الله mengatakan, "Zuhud adalah berpaling dari keinginan terhadap sesuatu menuju kepada sesuatu yang lebih baik. Dan sesuatu yang ditinggalkan itu benar-benar menarik hati. Barang siapa yang membenci dan meninggalkan sesuatu karena tidak menarik atau tidak dibutuhkan oleh dirinya tidaklah dinamakan zuhud. Seperti orang yang tidak tertarik terhadap debu bukan disebut zuhud. Dan bukan termasuk zuhud meninggalkan harta kemudian menyalurkannya ke jalan kebaikan, bahkan zuhud itu adalah meninggalkan dunia berdasarkan ilmunya akan kehinaan perkara dunia dibandingkan dengan perkara akhirat yang begitu berharga."3 Al-Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله mengatakan, "Sesungguhnya zuhud adalah perjalanan hati dari negeri dunia untuk mengambil negeri akhirat. Makna zuhud bukanlah meninggalkan kekuasaan. Sungguh Nabi Sulaiman dan Nabi Daud 'alaihimassalam termasuk manusia paling zuhud pada zamannya. Keduanya memiliki kekuasaan, harta, dan wanita. Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah manusia paling zuhud secara mutlak sedang beliau punya sembilan istri. Ali bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Zubair, dan Utsman رضي الله عنهم adalah termasuk orang-orang yang zuhud, bersama dengan itu mereka mempunyai harta. Dan contoh selain mereka banyak."4 Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan, "Dan bukanlah zuhud itu dengan tidak memakai pakaian yang bagus atau tidak mengendarai mobil mewah, hidup susah dengan hanya makan sepotong roti tanpa lauk pauk, atau sebagainya. Akan tetapi, nikmatilah apa yang Alloh berikan karena Alloh itu senang jika melihat tanda kenikmatan pada hamba-Nya. Apabila seorang hamba bersenang-senang dengan kenikmatan ini tentu akan membawa manfaat baginya di negeri akhirat."5
|