No Isi Artikel

FITNAH DUNIA

 

Dunia merupakan hunian yang penuh dengan fitnah dan cobaan. Dan ia terus berubah. la tak abadi. Kadang ia pasang, kadang surut. Kadang ramah, kadang buas sebagaimana nasib para penghuninya. Dunia adalah surga dan neraka.

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

"Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."1

Manusia memang makhluk yang paling mulia. Namun ia juga paling rakus terhadap kenikmatan dunia. la cintai dunia dengan membabi buta. Tak pernah lelah ia kejar dunia sehingga tubuh lekas tua dan akal cepat pikun.

Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ

"Dua perkara yang membuat anak Adam cepat pikun dan cepat tua: rakus terhadap harta dan rakus terhadap umur."2

Angan-angan hamba untuk menghimpun dunia tidak pernah terpuaskan. Bahkan, semakin bertambah hartanya semakin ia menginginkan yang lebih. Tak pernah puas ia hingga mulutnya disumbat dengan tanah kuburan.

Dari Anas bin Malik رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَاللَّهُ يَتُوبُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Andaikata anak Adam punya satu lembah dari emas maka ia akan senang bila punya satu lembah lainnya dan tidak akan penuh mulutnya kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima tobat orang yang bertobat."3

Harta kekayaan dan nikmat dunia tidaklah tercela, namun yang tercela adalah prilaku seorang hamba terhadapnya, dengan sifat rakus dan tamak kepadanya, mencarinya dengan cara tidak halal, tidak menunaikan hak-haknya, membelanjakan bukan pada tempatnya, bersikap melampui batas atau sombong karenanya sehingga Allah عزّوجلّ berfirman:

كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى . إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى

"Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena Dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)," (QS. Al-'Alaq [96]: 6-8).

Wahai manusia, ingatlah dunia yang kalian tekuni, karier yang kalian kejar, kesejahteraan yang kalian dambakan, ketenangan yang kalian idamkan, kebahagiaan yang kalian inginkan dan kemewahan yang kalian impikan pasti akan berakhir dengan kepunahan dan kematian, apa pun yang ada di dunia ini pasti akan sirna. Dunia tempat di mana kenistaan bertahta dan ketamakkan sebagai raja, kezaliman berkuasa, kesengsaraan sebagai busana, sehingga dunia laksana pelacur yang tidak pernah setia kepada suaminya.4 Orang yang mengejarnya bagaikan mengejar binatang buas dan orang yang mencarinya laksana sedang berenang di danau buaya, dan orang yang menikmatinya ibarat meminum air garam yang tidak pernah merasa puas.

Sudah menjadi ketetapan sunnatullah bahwa sifat dunia fluktuatif, gampang terkena krisis dan cepat berganti layar, yang kaya jatuh miskin, yang sehat jatuh sakit dan yang bekerja terkena PHK atau pensiun.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا

"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin dan adalah Allah, Mahakuasa atas segala sesuatu," (QS. Al-Kahfi [18]: 45).

Karena nikmat dunia dan harta kekayaan hanya sekadar fitnah yang menipu dan nikmat sesaat yang menyilaukan, maka hendaklah seorang hamba berhati-hati dalam menyikapinya. Jangan tenggelam dan terlena dalam gemerlap, keindahan dan kesenangannya. Allah عزّوجلّ mengingatkan dengan firman-Nya:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Al-Anfaal [8]: 28).

Hampir seluruh manusia tak ada yang tidak mengenal uang atau dirham, mereka mencarinya dengan sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahankannya dengan segala upaya, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa uang adalah segalanya. Dengan uang manusia berkuasa, dengan uang manusia bebas bertindak dan dengan uang dunia bisa ditaklukkan. Mereka tidak sadar bahwa dengan atau karena uang manusia bisa sengsara, kecuali uang atau dirham yang berada di tangan orang yang bertakwa. Dirham ada empat macam: dirham yang didapat dengan ketaatan kepada Allah dan dibelanjakan untuk hak Allah, maka hal itu sebaik-baik dirham. Dirham yang didapat dengan cara maksiat kepada Allah dan dibelanjakan untuk menentang Allah, maka itu seburuk-buruknya dirham, Dirham yang didapat dengan menyakiti seorang muslim dan dibelanjakan untuk menyakiti orang muslim, dan dirham didapat dengan cara mubah dan dibelanjakan untuk mencari kesenangan yang mubah, maka hal ini tidak ada resiko apa-apa."5

Dari Abu Hurairah  رضي الله عنه  bahwa  Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

"Seorang hamba berkata, 'Hartaku, hartaku.' Padahal sungguh dia tidak punya harta kecuali tiga, yang telah dimakan suatu ketika menjadi kotoran atau yang dikenakan sebagai pakaian suatu ketika akan rusak dan yang diberikan suatu ketika akan menjadi simpanan (akhirat) dan selain itu akan lenyap dan ditinggalkan untuk manusia."6

Yahya bin Muadz berkata, "Dirham itu seperti kalajengking, bila anda tidak pandai meruqyah (jampi) jangan mengambilnya, karena jika ia menyengatnya maka kaumnya  akan  membunuhmu."  Beliau  ditanya, 'Apa yang dimaksud ruqyahnya (jampi)?' Beliau menjawab, 'Mengambil yang halal dan menunaikan haknya.' Beliau berkata, 'Dua bencana menimpa dirinya akibat hartanya pada saat matinya, sementara semua makhluk belum pernah mendengarkannya.' Beliau ditanya, 'Apakah dua bencana itu?' Beliau menjawab, 'Semua hartanya diambil orang lain, sementara dia dimintai tanggung jawab semuanya.'"7

Wahai saudaraku, sederhanalah dalam mencari harta. Jangan rakus dan membabi buta tanpa memerhatikan aturan agama, dan jangan menodai hak orang lain, karena rezekimu tidak akan berpindah ke tangan orang lain, karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَوْ أَنَّ ابْنُ آدَمَ هَرَبَ مِنْ رِزْقِهِ كَمَا يَهْرُبُ مِنَ الْمَوْتِ لَأَدْرَكَهُ رِزْقُهُ كَمَا يُدْرِكُهُ الْمَوْتِ

"Seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana ia lari dari kematian, maka rezekinya akan menemuinya sebagaimana kematian menemuinya."8

Seorang hamba dalam mengarungi kehidupan hanya butuh terhadap tiga pilar karena tidak akan sukses kecuali dengannya: bersyukur, mencari kesehatan, dan bertobat dengan tobat nasuha.'9

Maka cara terbaik untuk menghadapi perubahan dunia yang serba ekstrim adalah bersikap sederhana dalam mencari penghidupan dan bersikap wajar dalam membelanjakan harta. Jika kamu sekarang berkecukupan jangan terlalu gundah gulana dan goncang batin dalam menghadapi masa depan. Kita harus yakin bahwa rezeki pasti datang, dan takut miskin adalah tipu daya setan. Hendaknya pula memahami keutamaan sikap qana'ah, dan orang rakus pasti hidupnya terhina. Dan hendaknya memikirkan bahaya menumpuk harta dan keutamaan kemiskinan.



  1. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (2956) dan Imam at-Tirmidzi dalam sunannya (2324) dan lihat Shahihul Jami’ no. 3412
  2. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (1047) Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2339) dan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (4234).
  3. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (1048) dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2337).
  4. Lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim, hal. 71
  5. Lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim, hal. 246.
  6. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (2959) dan lihat Shahihul Jami' no: 8133
  7. Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, hal 185.
  8. Lihat Shahihul Jami' no: 5240.
  9. Lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim, hal. 288.